Selasa, 27 Oktober 2009

DISKRESI POLRI

DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM
DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM AKBP Toni Ariadi
PendahuluanTugas menegakkan hukum dan memelihara ketertiban umum dapat menempatkan Polri dan masyarakat
pada sisi yang berlawanan dalam masalah tertentu.Kepentingan negara didalam hukum dan ketertiban telah melahirkan
petugas penegak hukum yang tidak hanya memiliki tanggungjawab tapi juga wewenang yang dapat memaksakan
hukum dilaksanakan dengan baik.Penegak hukum memiliki kekuasaan diskresi atas penangkapan, penahanan dan
tindakan-tindakan lain termasuk penggunaan kekerasan dan senjata api.
Penegakan hukum dapat diartikan dalam kerangka tiga konsep yang saling berhubungan (Muladi. 2002.Demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia.), yakni (1) konsep penegakan hukum yang bersifat total, yang
menuntut agar semua nilai yang dibelakang norma hukum tersebut ditegakan tanpa kecuali; (2) yang bersifat penuh,
yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan
individual; dan (3) konsep penegakan hukum aktual yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan
hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana prasarana, kualitas sumberdaya manusia,
dan kualitas perundang-undangannya. Penegakan hukum sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan penerapan
diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi
mempunyai penilaian pribadi.Diskresi pada hakikatnya berada diantara hukum dan moral.Atas dasar uraian tersebut
dapatlah dikatakan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidak serasian antara
nilai, kaidah, dan pola perilaku.Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata
berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah
demikian.selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan
keputusan-keputusan hakim.Perlu dicatat bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahankelemahan,
apabila pelaksanaan perundang-undangan tersebut malah menganggu kedamaian didalam pergaulan atau
keadilan tidak dapat dilaksanakan.
Penggunaan kewenangan secara legal semakin memperkuat legitimasi Polisi. Sebaliknya, legitimasi Polisi akan
melemah manakala diterapkan secara ilegal. Tetapi, kenyataannya tidak selalu demikian. Digunakannya kewenangan
oleh Polisi saat menjalankan tanggung jawabnya selaku penegak hukum serta pemelihara keamanan dan ketertiban
umum, walaupun secara legal, faktualnya masih juga acap kali menimbulkan persoalan yang mengurangi legitimasi
Polisi.Ketidak-kongruenan antara teori dan praktik itu membuktikan bahwa pekerjaan Kepolisian, termasuk dalam hal
penggunaan kekerasan/kekuatan, tidak semestinya mengacu semata-mata pada aspek kebijakan
formal/organisasional(Farouk Muhammad: Opini merealisasikan Kepolisian Sipil).Tidak kalah penting, terdapat unsur
diskresi Kepolisian yang seharusnya dikuasai oleh segenap anggota Polisi.Dengan kedudukannya selaku agen
perubahan sosial, Polisi dituntut untuk selalu bertingkah laku profesional. Perlakuan tidak beradab yang diterima oleh
jajaran Polri bukan merupakan alasan yang menoleransi tindakan tak beradab atas warga. Ini merupakan tantangan
yang tidak ringan untuk mengatasinya.
Kewenangan diskresi masih belum banyak diketahui oleh setiap anggota Polri dan bagaimana seorang anggota Polri
melakukan diskresi tersebut.Anggota Polri hanya tahu tentang diskresi tapi tidak jelas bagaimana melaksanakannya dan
apa akibatnya bila diskresi tersebut disalahgunakan.Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk melihat pelaksanaan
diskresi dilihat dari penegakan hukum.
Diskresi dan PelaksanaannyaKepolisian secara universal diberi kewenangan menggunakan diskresi.Kewenangan
diskresi yang diberikan kepada institusi Kepolisian tidak terlepas karena sifat Kepolisian yang universal sebagai penegak
hukum.Setiap kewenangan yang besar akan berjalan dengan baik bila dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar
dan professional. Tapi banyak juga para penegak hukum memanfaatkan kewenangannya untuk mencari keuntungan
pribadi atau melakukan penyalahgunaan wewenang yang dapat dijadikan salah satu cara atau modus.Salah satu
kewenangan yang dimiliki penyidik Polri adalah tindakan diskresi yang tertuang dalam perundang-undangan Menurut
kamus hukum (Bryan A Garner:479 )definisi diskresi adalah sebagai berikut:
A public official’s power or right to act in certain circumstances according to personal judgment and
conscience.Ada tiga jenis diskresi yaitu administrative discreation, judicial discreation and prosecutorial discreation.
Dapat juga diartikan sebagai berikut bahwa tindakan diskresi merupakan tindakan yang dilakukan secara individu
anggota Kepolisian atau tindakan yang berdasarkan perintah dari pimpinan.
Sedangkan Walker mendefinisikan diskresi sebagai wewenang yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi
khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri.Ada juga yang berpendapat bahwa
diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang
melanggar UU, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan
tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Artinya, secara hukum mungkin ia melanggar, tetapi secara
asas ia tidak melanggar kepentingan umum dan itu merupkan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan
pelanggaran tindak pidana(Gayus Lumbuan:Opini). Soal diskresi, cukup menarik jika kita melihat teori korupsinya Robert
Klitgaard; C=D+M-A (Corruption = Discretionary + Monopoly – Accountability).Dalam teori ini dapat dikatakan
bahwa dengan adanya diskresi dapat terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh karena itu diskresi bertumpu pada
pertimbangan moral Polisi dalam rangka pengambilan keputusan-di tengah situasi sekompleks apa pun-yang tidak
hanya memenuhi unsur yuridis, tetapi juga nilai-nilai kearifan (moral). Karena diskresi hanya dapat diterapkan dalam
sebuah lingkungan sosiokultural yang otonom sehingga memberikan kewenangan kepada individu-individu Kepolisian
yang cerdas sekaligus percaya diri untuk mengambil inisiatif (tidak selalu menunggu instruksi), maka sebelum
memberikan kewenangan kepada Polisi untuk menerapkan diskresi, organisasi Polri dituntut untuk merumuskan
kebijakan untuk mengendalikan diskresi yang tidak diperkenankan(Prof Farouk Muhammad:Opini merealisasikan Polisi
Sipil). Penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika. Hal ini paling tidak didasarkan atas 4
(empat) alasan: (1) sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan atau kadang-kadang bahkan
kekerasan (coercion) dengan kemungkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of
power); (2) Hampir semua professional dalam penegakan hukum pidana merupakan pegawai pemerintah (public
servant) yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani; (3) Bagi setiap orang, etika dapat digunakan
sebagai alat guna membantu memecahkan dilema etis yang dihadapi seseorang dalam kehidupan profesionalnya
(enlightened moral judgement); dan (4) Dalam kehidupan profesi sering dikatakan bahwa “ a set of ethical
requirements are as part of its meaning”. Didalam hukum administrasi diskresi sering disebut sebagai
“freies Ermessen” (kewenangan bebas) yang aslinya “Ermessen”, kemudian diterjemahkan
Diskresi.Sebenarnya masalah diskresi atau freies Ermessen ini tidak perlu diatur dalam suatu ketentuan formal. Diskresi
itu merupakan kewenangan bebas diskresi itu muncul secara insidental, terutama ketika peraturan perundangundangan
belum ada/mengatur atau rumusan peraturan tertentu bersifat multitafsir atau bersifat samar, dan diskresi
tidak dapat diprediksi sebelumnya.Meskipun pemberian freies Ermessen atau kewenangan bebas (discresionare power)
kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dalam konsepsi welfare state, akan tetapi pemberian diskresi ini bukan
tanpa masalah. Sebab adanya kewenangan bebas ini berarti terbuka peluang penyalahgunaan wewenang
(detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga Negara.Diskresi
dapat dikatakan keputusan yang tidak terprogram lebih menyerupai perintah khusus yang sering membutuhkan
kreativitas dan penilaian dalam tingkat yang lebih besar. Timbulnya diskresi pertama di Kepolisian dituangkan dalam
pada penjelasan UU no 13 tahun 1961 tentang Kepolisian yang sangat berkaitan dengan penyidikan perkara, perlu
dicatat bahwa dalam praktek Kepolisian (menurut hukum yang tak tertulis) pihak Kepolisian Negara berdasarkan
kepentingan umum dapat menyampingkan suatu perkara yang serba ringan, sehingga perkara itu tidak sampai pada
tingkat penuntutan oleh Jaksa. Praktek yang dimaksud itu dapat berlangsung terus sampai saat ini seperti tertuang
dalam Pasal 18 UU No 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian yang berbunyi:
- Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
- Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat
perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik
IndonesiaUndang-undang Kepolisian nomor 2 tahun 2002 juga memasukan diskresi kedalam Pasal 18 yang bunyinya
sama dengan Pasal 18 UU No 28 Tahun 1997.Pada Pasal 16 ayat 1 huruf l Undang-Undang no 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian yang berbunyi Polri berwenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan
didalam KUHAP termuat pada Pasal 5 ayat 1 huruf a butir 4 yang berbunyi penyidik dapat mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggungjawab.Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU no 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian dan KUHAP adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat.
Pada pasal ini substansi hampir sama dengan diskresi tapi ada batasan yang jelas yang bertujuan agar penyidik tidak
melakukan penyalahgunaan wewenang.Tindakan-tindakan penyidik tersebut dibatasi dengan syarat sebagai berikut:
- Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
- Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan.
- Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.
- Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.
- Menghormati HAM.Syarat yang terdapat dalam Pasal-pasal di UU No 2 tahun 2002 dengan KUHAP ini ada yang
berpendapat bahwa masuk lingkup diskresi, tapi ada yang menyatakan bukan lingkup diskresi sehingga masih perlu
dilakukan kajian lebih mendalam lagi tentang tindakan lain dan diskresi ini.Tapi menurut penulis bahwa pasal 16 UU No
2 tahun 2002 dan Pasal 5 KUHAP masuk dalam diskresi dengan alasan bahwa tindakan lain lebih ditekankan pada
penegakan hukum, adanya pembatasan yang jelas, tindakan yang dilakukan adalah dalam lingkup jabatannya, tindakan
tersebut tidak direncanakan dan memperhatikan hak asasi manusia yang semuanya hampir sama dengan syarat yang
terdapat dalam pasal 18 UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.
Disamping syarat yang terdapat dalam Pasal 16 UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan Pasal 5, serta Pasal 7
KUHAP ada syarat yang terdapat dalam ilmu hukum Kepolisian yaitu:
- Tindakan harus benar-benar diperlukan (Noodzakelijk, Notwendig) atau asas keperluan.
- Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas Kepolisian (zakelijk, sachlich)
- Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu
yang dikhawatirkan.Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan (Zweckmassig, doelmatig).
- Asas keseimbangan (evenredig).Dalam mengambil tindakan harus senantiasa dijaga keseimbangan antara sifat (keras
lunaknya) tindakan atau sarana yang dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau berat ringannya suatu
objek yang harus ditindak (Momo Kelana: Memahami UU Kepolisian, PTIK Press).Tindakan diskresi bila tidak dibatasi
dengan jelas, dapat disalah artikan bahwa pelaksanaan diskresi yang dapat menjurus penyalahgunaan wewenang oleh
penyidik yang dapat melanggar HAM.Masalah pelaksanaan diskresi terhadap para pelanggar hukum sering menyimpang
dari ketentuan atau prinsip dari diskresi karena yang melaksanakan diskresi adalah Polisi yang bersifat individual jarang
dilakukan oleh institusi baik ditingkat Markas Besar, Kepolisian daerah maupun tingkat Polres.Lebih banyak dilakukan
individu Polisi dan oleh karena itu penyimpangan terhadap diskresi mencakup pada tugas-tugas penyidikan.
Penyimpangan diskresi dalam pelaksanaannya dapat dibedakan menjadi penyimpangan diskresi aktif dan diskresi pasif
(Chrysnanda DL. 2002. Diskresi dan Korupsi.Jurnal Polisi Indonesia)..Penyimpangan diskresi aktif adalah keputusan
untuk mengambil tindakan Kepolisian yang seharusnya tidak dilakukan oleh petugas Kepolisian dengan harapan untuk
mendapatkan imbalan yang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.sedangkan Penyimpangan
diskresi pasif adalah keputusan untuk tidak mengambil tindakan yang seharusnya petugas Kepolisian mengambil
tindakan seperti contoh petugas penyidik seharusnya melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana tapi
karena sudah mengenal tersangka penyidik membiarkan saja tersangka tersebut. Telah disampaikan diatas bahwa
diskresi Kepolisian, yaitu suatu tindakan Kepolisian berdasarkan atas penilaian sendiri seorang petugas Polisi dalam
rangka kepentingan umum. Dalam pelaksanaannya, tindakan diskresi tetap harus memperhatikan rambu-rambu aturan
yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral (noodzakelijk), tidak dimuati interes pribadi (zakelijk), serta
harus terukur atau seimbang antara tindakan Polisi dengan berat ringannya kesalahan (even redig) serta tepat situasi
(doelmatig)( Drs. Taufik Rohman: Opini Semangat Baru Menuju Polisi yang Membumi). Meskipun sempat muncul
penolakan karena pasal ini bisa dijadikan pembenar bagi setiap tindakan Polisi di lapangan, (yang dianggap benar atau
pun salah), namun akhirnya DPR menyetujui karena pada dasarnya diskresi merupakan baju Kepolisian dalam
menjalankan tugasnya. Diskresi dilakukan oleh petugas Polisi di lapangan adalah untuk menyelaraskan situasi, dengan
keharusan seorang Polisi untuk bersikap tepat dan cerdas dalam perannya, tidak hanya sebagai penegak hukum, tapi
sekaligus sebagai pembimbing masyarakat. Sebagai penegak hukum tentulah harus bersikap tegas dan mungkin juga
perlu keras.
Namun, sebagai pembimbing masyarakat sikap sejuk dan toleran tetap tidak boleh ditinggalkan. Sepertinya ada dua hal
yang mustahil untuk dilakukan secara bersama-sama, di situlah akan teruji kapasitas dan kompetensi seorang Polisi
yang mumpuni. Berbeda dengan profesi lain, profesi Kepolisian menuntut kecepatan dan ketepatan serta penafsiran
pribadi terhadap fenomena yang terjadi, khususnya pada saat-saat genting atau mendesak. Karena itu, tugas seorang
Polisi bukanlah menjalankan perintah atasannya, tetapi menjalankan perundang-undangan atau hukum. Peran pimpinan
adalah mengarahkan, membimbing, dan mengawasi agar tidak terjadi kekeliruan. Tentu tidak mungkin menunggu
petunjuk pimpinan manakala petugas Polisi dihadapkan pada peluang yang sempit sementara dia harus melakukan
tindakan antara menembak seorang penjahat atau membiarkannya kabur dan terus menjadi ancaman masyarakat.
Dalam contoh lain yang ekstrim, mungkin saja seorang Polisi akan melepaskan (membebaskan) seorang pencuri beras
karena alasan kelaparan atau terpaksa. Keadilan bukanlah menerjemahkan angka-angka, tetapi merinci mengapa
sejumlah hari pantas dijatuhkan sebagai pemidanaan. Sebagaimana dijelaskan, luasnya diskresi membuka peluang
untuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran. Hal ini jelas perlu diantisipasi dengan pengaturan yang lebih rinci,
limitatif, dan memiliki tolok ukur yang obyektif untuk menilai bagaimana aparat penegak hukum dan hakim harus
menjalankan tugas dan wewenangnya.Kelemahannya adalah selama ini diskresi aparat penegak hukum dan hakim
masih besar dan belum disertai tolok ukur yang obyektif dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam
diskresi yang luas dan subyektif bagi penyelidik/ penyidik/ penuntut/ hakim untuk mengartikan bukti yang cukup, ada
kekhawatiran tersangka/ terdakwa melarikan diri, atau menghilangkan alat bukti. Selain itu masalah diskresi ini pun
dapat dilihat dalam aturan MA, dimana tidak ada batas waktu yang jelas bagi hakim agung untuk menyelesaikan suatu
perkara.Oleh karena itu, perlu dibuat suatu pembatasan atas penggunaan diskresi bagi aparat penegak hukum. Selain
itu, untuk menutup peluang penyalahgunaan wewenang, pengaturan tentang diskresi yang teknis, baik itu standard
operation procedure (SOP), buku pedoman, Prosedur Tetap atau istilah lainnya, penting sebagai dasar untuk menilai
performance dan perilaku aparat penegak hukum dan hakim.Senafas dengan diskresi yang terbatas, adanya
pembatasan perilaku yang spesifik bagi aparat penegak hukum, hakim dan advokat dalam menjalankan tugas
merupakan hal yang tidak kalah pentingnya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran.
Selain itu, pembatasan perilaku yang spesifik akan sangat membantu upaya represif yaitu untuk menentukan sesuai
tidaknya penggunaan wewenang atau perilaku aparat penegak hukum, hakim dan advokat dalam menjalankan tugas.
Kelemahannya selama ini, aturan mengenai pembatasan perilaku bagi aparat penegak hukum, hakim, dan advokat yang
biasanya diatur dalam undang-undang tentang lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan serta etika profesi,
masih belum rinci.Didalam melakukan tindakan diskresi Kepolisian ada beberapa aturan yang menjadi pedoman agar
diskresi dapat dilaksanakan dan tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang.Pedoman tersebut berlaku bagi penegak
hukum pada pedoman perilaku dari para penegak hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials, 1979) yang
didesain khusus untuk tujuan sebagai bahan pendidikan dan acuan bagi yang bersangkutan, agar tidak terjadi salah
penggunaan kekuatan atau kekuasaan (abuse of force and power). Terkait pula disini suatu instrumen HAM yang berisi
asas-asas dasar penggunaan kekuatan dan senjata api bagi penegak hukum (Basic Principles on the Use of Force and
Firearms by Law Enforcement Officials, 1990) untuk mencegah tindakan-tindakan excessive termasuk pemberian
pelatihan dan peralatan yang tepat serta apabila perlu menjatuhkan sanksi bagi yang bersalah.Sedangkan Polri sudah
mempunyai kode etik didalam melaksanakan tugasnya yang tercantum dalam Pasal 34 UU no 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian.Penggunaan diskresi yang dilakukan oleh penyidik Polri dalam penggunaan kewenangan benar-benar
ditempatkan pada suatu porsi yang benar dan bertujuan untuk kepentingan umum tidak digunakan untuk tujuan yang
tidak baik.Kode etik yang menjadi batasan dalam penggunaan diskresi harus dijadikan pedoman oleh segenap anggota
Kepolisian.Selain itu juga dalam melaksanakan kewenangan ini setiap anggota Polri senantiasa bertindak berdasarkan
norma hukum, mengindahkan norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan serta menjunjung HAM.

Penutup Diskresi merupakan kewenangan yang dimiliki oleh setiap anggota Kepolisian yang diperbolehkan untuk
bertindak atas penilaiannya sendiri dalam rangka kepentingan umum dengan memperhatikan kode etik dan perundangundangan.
Disini dapat dilihat walaupun memiliki kewenangan diskresi setiap anggota Polri dalam pelaksanaannya tidak
boleh semaunya bertindak atau melakukan diskresi.Salah dalam melaksanakan diskresi akan berakibat penyalahgunaan
wewenang(abuse of power) yang dapat berakibat hukum bagi penegak hukum.Karena itu didalam melaksanakan
diskresi perlu pertimbangan moral selain pertimbangan yuridis dan diperlukan juga mental kepribadian yang baik bagi
anggota Polri. Selain itu kualitas tindakan pelaksanaan diskresi ini juga berdasarkan pengalaman dan kemampuan
petugas kepolisian tersebut.
(Tulisan ini diambil dari literature, tulisan-tulisan dan pendapat-pendapat para ahli hukum, pakar Kepolisian dan Advocat).